Ikhtilaf Ulama Tentang Hukum Air Dua Qullah
Hadis-hadis Tentang Air Dua Qullah
Dari Abdullah bin Umar r.a., berkata, “Rasulullah saw. ditanya tentang air dan binatang-binatang melata dan buas yang datang dan memanfaatkan air tersebut. Maka Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ
‘Apabila air itu sebanyak dua qullah maka dia tidak mengandung kotoran.’” (HR Abu Dawud: 63, Tirmidzi: 67, Nasa’i: 52, Hakim: 459, dan Ahmad: 4961)
Dalam riwayat lain, juga dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ فَإِنَّهُ لَا يَنْجُسُ
“Apabila air itu dua qullah, maka dia tidak najis.” (HR Abu Dawud: 65)
Dalam riwayat lain, juga dari Abdullah bin Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda,
إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ
“Apabila air itu dua qullah, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menjadikannya najis.” (HR Hakim: 458 dan berkata, “Hadis ini shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim)
Imam As-Suyuthi[1] menjelaskan, “Hadis riwayat Abu Dawud (tidak najis) dan riwayat Hakim (tidak ada sesuatu pun yang bisa menajiskannya), dua-duanya menjelaskan pengertian sabda beliau (tidak mengandung kotoran) yaitu air tersebut menolak kotoran itu dari dirinya dan tidak menerimanya.”
Ikhtilaf Ulama Tentang Kandungan Hadis Air Dua Qullah
Hukum tentang air bersumber dari beberapa hadis berikut ini:
1. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri r.a. tentang sumur Bidha’ah,
2. Hadits Ibnu Umar r.a. tentang air dua qullah,الْمَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ“Air itu thahûr (suci mensucikan), tidak bisa dinajiskan oleh sesuatu apapun.” (HR Abu Dawud: 66-67, Tirmidzi: 66, dan Nasa’i: 326)
3. Hadits Anas bin Malik r.a. tentang menyiram kencing dengan setimba penuh air,إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ“Apabila air itu sebanyak dua qullah maka dia tidak mengandung kotoran.” (HR Abu Dawud: 63, Tirmidzi: 67, Nasa’i: 52, Hakim: 459, dan Ahmad: 4961)
4. Hadits Abu Hurairah r.a. tentang mencuci tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana,دَعُوهُ، وَأَهْرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ، أَوْ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ“Biarkanlah dia dan siramlah pada kencingnya dengan satu timba besar air atau satu timba penuh air.” (HR Bukhari: 6128)
5. Hadits Abu Hurairah r.a. tentang larangan kencing di air yang diam lalu mandi darinya,إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ“Apabila salah seorang dari kalian bangun tidur maka janganlah dia menenggelamkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya sebanyak tiga kali, karena dia tidak tahu dimanakah tangannya bermalam.” (HR Muslim: 278)
6. Hadits Abu Hurairah r.a. tentang air yang dijilat anjing,لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ“Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam lalu mandi darinya.” (HR Muslim: 282)
Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama sepakat bahwa air yang telah dirubah oleh najis satu atau lebih dari sifatnya yaitu rasanya, warnanya, atau baunya maka air tersebut tidak boleh dipakai untuk berwudhu dan bersuci. Dan mereka juga sepakat bahwa air dengan volume yang melimpah (sangat banyak) tidak akan dirusak oleh najis yang tidak mampu merubah salah satu sifatnya dan air tersebut suci.[2]إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ“Apabila anjing minum dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia membuangnya dan mencuci bejananya sebanyak tujuh kali.” (HR Muslim: 279)
Hadits-hadits di atas memunculkan beberapa poin kesimpulan:
1. Air yang tercampur najis, tapi salah satu sifatnya tidak berubah karena najis tersebut maka:
a. Al-Qasim, Yahya bin Hamzah, sekelompok ulama dari Al-Âl, Malik, Azh-Zhahiriyah, dan Ahmad dalam salah satu dari dua pendapatnya beserta sekelompok sahabatnya berpendapat bahwa air tersebut thahûr (suci mensucikan), baik vulomenya sedikit atau banyak berdasarkan hadis ‘air itu suci mensucikan…’. Mereka hanya menghukumi air tersebut kehilangan sifat suci mensucikan jika najis telah merubah salah satu sifatnya berdasarkan ijma’ (kesepakatan).
b. Al-Hadawiyah, Al-Hanafiyah, dan Asy-Syafi’iyah merincinya menjadi dua keadaan:
(1) Jika volume air sedikit maka air tersebut bisa dirusak oleh najis secara mutlak.
(2) Jika volume air banyak maka tidak bisa dirusak oleh najis kecuali jika najis tersebut telah merubah sebagian sifatnya.
2. Tentang batasan air disebut banyak atau sedikit, Al-Hadawiyah, Al-Hanafiyah, dan Asy-Syafi’iyah berselisih pendapat menjadi:
a. Al-Hadawiyah berpendapat membatasi jumlah sedikit itu dengan perkiraan orang yang memakai air yang tercampur najis tersebut bahwa dia menggunakan najis dengan menggunakan air tersebut. Jika tidak demikian maka air tersebut disebut banyak.
b. Al-Hanafiyah berpendapat bahwa batasan banyak bagi air itu apabila seseorang menggerakkan salah satu sisinya, gelombangnya tidak berjalan sampai sisi yang lain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan pendapat dua sahabatnya, air banyak itu adalah 10 x 10. Jika kurang dari itu maka disebut sedikit.
c. Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa batasan banyak bagi air itu bila telah mencapai volume dua qullah yaitu sekitar 500 rithl[3] dengan mendasarkan pada hadis tentang dua qullah. Jika kurang dari itu maka disebut sedikit.[4]
a. Al-Qasim, Yahya bin Hamzah, sekelompok ulama dari Al-Âl, Malik, Azh-Zhahiriyah, dan Ahmad dalam salah satu dari dua pendapatnya beserta sekelompok sahabatnya berpendapat bahwa air tersebut thahûr (suci mensucikan), baik vulomenya sedikit atau banyak berdasarkan hadis ‘air itu suci mensucikan…’. Mereka hanya menghukumi air tersebut kehilangan sifat suci mensucikan jika najis telah merubah salah satu sifatnya berdasarkan ijma’ (kesepakatan).
b. Al-Hadawiyah, Al-Hanafiyah, dan Asy-Syafi’iyah merincinya menjadi dua keadaan:
(1) Jika volume air sedikit maka air tersebut bisa dirusak oleh najis secara mutlak.
(2) Jika volume air banyak maka tidak bisa dirusak oleh najis kecuali jika najis tersebut telah merubah sebagian sifatnya.
2. Tentang batasan air disebut banyak atau sedikit, Al-Hadawiyah, Al-Hanafiyah, dan Asy-Syafi’iyah berselisih pendapat menjadi:
a. Al-Hadawiyah berpendapat membatasi jumlah sedikit itu dengan perkiraan orang yang memakai air yang tercampur najis tersebut bahwa dia menggunakan najis dengan menggunakan air tersebut. Jika tidak demikian maka air tersebut disebut banyak.
b. Al-Hanafiyah berpendapat bahwa batasan banyak bagi air itu apabila seseorang menggerakkan salah satu sisinya, gelombangnya tidak berjalan sampai sisi yang lain. Ini pendapat Imam Abu Hanifah. Sedangkan pendapat dua sahabatnya, air banyak itu adalah 10 x 10. Jika kurang dari itu maka disebut sedikit.
c. Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa batasan banyak bagi air itu bila telah mencapai volume dua qullah yaitu sekitar 500 rithl[3] dengan mendasarkan pada hadis tentang dua qullah. Jika kurang dari itu maka disebut sedikit.[4]
Munculnya perselisihan pendapat di atas berangkat dari pertentangan makna tekstual enam hadits di atas. Hadits Abu Hurairah r.a. tentang mencuci tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana, larangan kencing di air yang diam lalu mandi darinya, dan air yang dijilat anjing, secara tekstual menjelaskan bahwa sedikit najis bisa menajiskan sedikit air. Sedangkan hadits Anas bin Malik r.a. tentang menyiram kencing dengan setimba penuh air dan hadits Abu Sa’id Al-Khudri r.a. tentang sumur Bidha’ah menjelaskan bahwa sedikit najis tidak bisa merusak sedikit air.
Adanya pertentangan dalam hadits-hadits tersebut mendorong para ulama untuk mengumpulkannya sehingga tidak bertentangan. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang cara mengumpulkannya yang akhirnya memunculkan pendapat yang berbeda-beda, diantaranya:
1. Ulama yang mengambil makna tekstual hadis orang Arab kencing di masjid dan hadis Abu Sa’id Al-Khudri r.a. tentang sumur Bidha’ah berpendapat bahwa dua hadis Abu Hurairah r.a. (mencuci tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana dan larangan kencing di air yang diam lalu mandi darinya) maknanya tidak bisa dipikirkan, melaksanakannya adalah ibadah, bukan karena air itu najis. Bahkan, dalam masalah ini Al-Zhahiriyah melampaui batas dengan mengatakan, “Walaupun seseorang menuangkan air kencing ke dalam semangkok besar air, tentu tidak makruh mandi dan wudhu dengannya.”
2. Ulama yang menganggap makruh air yang sedikit tercampur sedikit najis juga mengumpulkan hadis-hadis tersebut. Mereka membawa makna dua hadis Abu Hurairah r.a. pada makna makruh dan membawa makna hadis orang Arab kencing di masjid dan hadis Abu Sa’id r.a. tentang sumur Bidha’ah kepada makna tekstualnya.
3. Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengumpulkan antara dua hadis Abu Hurairah r.a. dan hadis Abu Sa’id Al-Khudri r.a. dengan membawa makna dua hadis Abu Hurairah r.a. pada jumlah air yang sedikit dan hadis Abu Sa’id r.a. pada jumlah air yang banyak. Artinya jika jumlah air itu sedikit maka bisa dirusak oleh najis yang masuk padanya dan jika jumlah air banyak maka najis tidak bisa merusaknya. Tentang seberapa ukuran ‘banyak’ itu, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berbeda pendapat.
a. Imam Syafi’i berpendapat bahwa batasan jumlah banyak bagi air itu adalah dua qullah berdasarkan hadits Ibnu Umar r.a.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan jumlah banyak bagi air itu berdasarkan qiyas, yaitu mengqiyaskan penyebaran najis dalam air dengan penyebaran gerakan gelombang air. Jika diduga kuat bahwa najis tidak mungkin bisa menyebar ke dalam keseluruhan air maka hukum air tersebut adalah suci.[5]
Akan tetapi dua pendapat ini akan bertentangan dengan hadis orang Arab kencing di masjid, tidak bisa tidak, karena sedikit air tidak terpengaruh oleh najis kencing, bahkan bisa mensucikan tempat yang terkena kencing. Oleh karena itulah, Al-Syafi’iyah membedakan antara air disiramkan pada najis dan najis masuk ke dalam air. Mereka berpendapat bahwa jika air disiramkan pada najis sebagaimana hadis orang Arab tersebut maka air tidak menjadi najis. Dan jika najis yang masuk ke dalam air sebagaimana hadis Abu Hurairah r.a. maka air menjadi najis.[6]
[1] Lihat catatan kaki Jalal Al-din Al-Suyuthi dalam Al-Sunan Al-Sughrâ Li Al-Nasâî, Jilid 1, (Aleppo: Maktab Al-Mathbû’ât Al-Islâmiyyah, 1986), Cet. 2, hlm. 46.
[2] Ibn Rusyd Al-Hafid, Bidâyah Al-Mujtahid wa Nihâyah Al-Muqtashid, Jilid 1, (Mesir: Dâr Al-Hadîts, 2004), hlm. 31.
[3] Dua qullah = 500 rithl Irak = 270 liter. Jika dirupakan dalam bentuk volume balok, dua qullah = 1,25 x 1,25 x 1,25 hasta. Jika dirupakan dalam bentuk volume silinder seperti sumur, dua qullah = dalam 2 hasta x diameter 1 hasta. Madzhab Hambali berpandapat: dalam 2,5 hasta x diameter 1 hasta. 1 Hasta = 48 cm. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuh, Jilid 1, (Damaskus: Dâr Al-Fikr), Cet. 12, hlm. 273.
[4] Lihat Muhammad bin Ismail Al-Shan’ani, Subul Al-Salâm, Jilid 1, Dâr Al-Hadîts, hlm. 22.
[5] Beliau tidak menggunakan hadis Ibn Umar r.a. karena menganggap bahwa hadis ini hadis mudhtharrib (goncang) baik sanad dan matannya. Hadis mudhtharrib termasuk hadis lemah.
[6] Lihat Ibn Rusyd Al-Hafid, Op.Cit., 31-32.
[2] Ibn Rusyd Al-Hafid, Bidâyah Al-Mujtahid wa Nihâyah Al-Muqtashid, Jilid 1, (Mesir: Dâr Al-Hadîts, 2004), hlm. 31.
[3] Dua qullah = 500 rithl Irak = 270 liter. Jika dirupakan dalam bentuk volume balok, dua qullah = 1,25 x 1,25 x 1,25 hasta. Jika dirupakan dalam bentuk volume silinder seperti sumur, dua qullah = dalam 2 hasta x diameter 1 hasta. Madzhab Hambali berpandapat: dalam 2,5 hasta x diameter 1 hasta. 1 Hasta = 48 cm. Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuh, Jilid 1, (Damaskus: Dâr Al-Fikr), Cet. 12, hlm. 273.
[4] Lihat Muhammad bin Ismail Al-Shan’ani, Subul Al-Salâm, Jilid 1, Dâr Al-Hadîts, hlm. 22.
[5] Beliau tidak menggunakan hadis Ibn Umar r.a. karena menganggap bahwa hadis ini hadis mudhtharrib (goncang) baik sanad dan matannya. Hadis mudhtharrib termasuk hadis lemah.
[6] Lihat Ibn Rusyd Al-Hafid, Op.Cit., 31-32.
Daftar Pustaka
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. 1422 H. Shahîh Bukhâri. Cetakan ke-1. Dâr Thauq An-Najâh
Al-Hafid, Ibnu Rusyd. 2004. Bidâyah Al-Mujtahid wa Nihâyah Al-Muqtashid. Mesir: Dâr Al-Hadîts
Al-Hakim, Abu Abdillah. 1990. Al-Mustadrak ‘Alâ Ash-Shahîhain. Cetakan ke-1. Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah
Al-Naisaburi, Muslim bin Hajjaj. t.t. Shahîh Muslim. Beirut: Dâr Ihyâ’ At-Turâts Al-‘Arabî
Al-Nasa’i, Ahmad bin Syu’aib. 1986. As-Sunan As-Sughrâ Li An-Nasâî. Cetakan ke-2. Aleppo: Maktab Al-Mathbû’ât Al-Islâmiyyah
Al-Shan’ani, Muhammad bin Ismail. t.t. Subul As-Salâm. Dâr Al-Hadîts
Al-Sajistani, Abu Dawud. t.t. Sunan Abî Dâwud. Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah.
Al-Syaibani, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. 2001. Musnad Al-Imâm Ahmad bin Hanbal. Cetakan ke-1. Muassasah Ar-Risâlah
Al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa. 1975. Sunan Al-Tirmidzî. Cetakan ke-2. Mesir: Syirkah Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafâ Al-Bâbî Al-Halabî
Al-Zuhaili, Wahbah. t.t. Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuh. Cetakan ke-12. Damaskus: Dâr Al-Fikr
Tidak ada komentar